October 17, 2010

Renungan Ketiga Tentang Berguru, Percaya Penuh Pada Guru

Sepasang suami istri setengah baya sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, hamba Sai dan buku-buku Bapak Anand Krishna mereka jadikan sebagai referensi. Mereka mengutip pandangan dalam buku agar tidak menghilangkan esensi.

Sang Istri: Suamiku, saya pernah membaca Guru-Bhakti Yoga yang ditulis oleh Swami Sivananda. Guru-Bhakti Yoga dilakukan dengan cara penyerahan total dari diri kepada Sadguru, di antaranya dengan hasrat yang kuat untuk melakoni Guru-Bhakti Yoga; keyakinan mutlak pada pikiran, ucapan dan tindakan Guru; melakukan penghormatan dengan rendah hati dan mengulang-ulang nama Guru; kepatuhan sempurna untuk melaksanakan instruksi Guru; melayani  Guru tanpa pamrih…… Mereka yang percaya kepada Utusan Ilahi, Pembawa Pesan Suci telah melaksanakan itu, walaupun para “Guru” tersebut sudah wafat ribuan tahun yang lalu. Swami Sivananda berbicara mengenai penyerahan total pada Guru yang masih hidup.

Sang Suami: Untuk memahami Guru-Bhakti Yoga kita perlu membuka khazanah leluhur tentang manembah. Para leluhur kita menembah kepada mereka yang dianggap sebagai utusan Gusti yang membimbing mereka seperti orang tua dan guru spiritual. Dalam buku “Shri Sai Satcharita” disampaikan bahwa………. Terpengaruh oleh budaya asing yang selalu memisahkan materi dan spiritual, seolah keduanya adalah dua entitas yang berbeda, maka kita pun menciptakan kaidah-kaidah tentang apa dan siapa saja yang boleh disembah. Padahal di dalam budaya kita ada tradisi sungkem kepada orangtua, dan siapa saja yang kita pertuakan. Maka tidaklah heran bila kita juga bersungkem pada seorang guru spiritual yang tidak hanya kita hormati, tapi kita anggap sebagai berkah dari Hyang Widhi, dari Hyang menentukan Segalanya……… Dalam buku “Shri Sai Satcharita”tersebut juga disampaikan 3 hal yang perlu dipersembahkan kepada Guru……. Pertama, adalah tidak cukup bila seseorang panembah hanya menghaturkan sembah sujud kepada seorang Sadguru yang memiliki pengetahuan sejati. Ia mesti berserah diri sepenuhnya. Kedua, sekedar bertanya kepada Guru tidak cukup. Seorang panembah mesti bertanya dengan tujuan dan niat yang jelas. Adapun tujuan seorang panembah adalah pengembangan batin dan kebebasan mutlak. Ia tidak bertanya untuk sekedar mencari tahu, menjebak, atau mencari kesalahan dari jawaban seorang Guru. Ketiga, seva bukanlah sekedar “melayani”. Seorang pelayan masih memiliki kebebasan untuk melayani atau tidak melayani. Seorang panembah telah berserah diri sepenuhnya, maka raga dia bukanlah milik dia lagi. Raga dia adalah milik Sang Guru. Raga itu ada hanyalah untuk melayani Sang Guru. Jika sudah berkesadaran seperti itu, maka pastilah dia memperoleh pengetahuan sejati dari Sadguru……

Sang Istri: Penyerahan diri secara total oleh seorang murid sama sekali bukan untuk kepentingan Guru, tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Melepaskan keangkuhan, keangkuhan, keakuan, ego dan tidak ge-er karena “baru sekadar tahu” adalah demi kebaikan sebagai calon murid……… Demikian disampaikan dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara”. 

Sang Suami: Di dunia ini tidak ada hal yang bersifat kebetulan. Apabila seseorang telah “siap”, maka Guru Pemandu sebagai berkah Gusti bagi orang tersebut, akan tergerak ingin bertemu untuk membimbingnya. Dalam buku “Rahasia Alam, Alam Rahasia” disampaikan………. Pertemuan fisik antara Murshid dan Murid, antara Guru dan Siswa selalu terjadi setelah pertemuan jiwa mereka, batin mereka. Jauh-jauh hari sebelum fisik dengan Sang Guru, batin seorang siswa sudah pasti bertemu dengannya. Pertemuan semacam itu hampir selalu terjadi atas keinginan Guru. Bila seorang siswa merindukan pertemuan seperti itu, saat bertemu fisik tidak ragu lagi. Tidak ada kebimbangan lagi. Kepasrahan pun terjadi tanpa diupayakan…….

Sang Istri: Ya suamiku, ketidakbimbangan dan kepasrahan berkaitan erat dengan rasa. Para leluhur kita lebih mengedepankan rasa. Rasa lebih spiritual dibandingkan pikiran yang hanya menghitung untung rugi kebendaan. Dalam buku “Seni Memberdaya Diri 1, Meditasi Untuk Manajemen Stres dan Neo Zen Reiki” disampaikan………. Rasa dapat mengendalikan pikiran, mind. Rasa itu irrasional, tidak ada logikanya. Jangan mencari logikanya. Seorang raja dapat meninggalkan takhtanya karena cinta, mana logikanya? Ajaran-ajaran agama berperan pada lapisan ini. Diajarkan cinta terhadap Tuhan, dianjurkan penyerahan total terhadap Kehendak Allah. Semuanya itu, untuk mengembangkan rasa, sehingga pikiran dapat terkendalikan. Namun selama ini apa yang terjadi masih jauh dari harapan para pendiri agama. Para tokoh agama masa kini begitu mementingkan akal dan pikiran, sehingga rasa tidak pernah berkembang. Itu sebabnya, penyerahan diri kita tidak pernah total. Pikiran pun tidak terkendali bahkan melahirkan fanatisme, yang masih merupakan hasil mind…..

Sang Suami: Akal pikiran tidak mau tunduk pada orang lain tanpa mendapatkan keuntungan baginya.Akal pikiran selalu merasa benar, “rumangsa bisa ora bisa rumangsa”, sudah sifat akal pikiran merasa bisa tetapi tidak bisa merasa atau menyadari keterbatasannya……… Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” disampaikan……. Seorang Nabi, seorang Avatar, seorang Mesias, seorang Buddha tidak akan menjalin hubungan dagang dengan Tuhan, dengan Allah, dengan Keberadaan. Dia berserah diri sepenuhnya, “Bukan kehendakku, Ya Allah, tetapi terjadilah Kehendak-Mu!”Seorang Nabi sedang bicara dengan kerumunan. Ada juga doa-doa berbau “dagang” yang mereka ajarkan. Doa-doa semacam itu diperuntukkan bagi mereka yang masih berjiwa dagang, bukan bagi para “sahabat”. Pilihan ada di tangan kita, mau mempertahankan jiwa dagang atau mau bersahabat dengan nabi. Bila mau bersahabat dengan nabi, kita harus pasrah. Harus menerima Kehendak Ilahi. Jangan mengeluh, jangan menyangsikan kebijakan-Nya……..

Sang Istri: Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan ciri-ciri seorang bhakta atau panembah……. Bhagavad Gita menjelaskan bahwa dalam keadaan suka maupun duka – ia tetap sama. Ketenangannya kebahagiaannya, keceriaannya – tidak terganggu. Ia bebas dari rasa takut. la tidak akan menutup-nutupi Kebenaran. la akan mengungkapkannya demi Kebenaran itu sendiri. la menerima setiap tantangan hidup….. la bersikap “nrimo” – nrimo yang dinamis, tidak pasif, tidak statis. Pun tidak pesimis. Menerima, bukan karena merasa tidak berdaya; ikhlas, bukan karena memang dia tidak dapat berbuat sesuatu, tetapi karena ia memahami kinerja alam. Ia menerima kehendak Ilahi sebagaimana Isa menerimanya diatas kayu salib. Ia berserah diri pada Kehendak Ilahi, sebagaimana Muhammad memaknai Islam sebagai penyerahan diri pada-Nya. Pasang-surut dalam kehidupan seorang panembah tidak meninggalkan bekas. Tsunami boleh terjadi, tetapi jiwanya tidak terporak-porandakan……….

Sang Suami: Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” tersebut juga disampaikan bahwa…….. Banyak yang berprasangka bahwa sikap “nrimo” membuat orang menjadi malas. Sama sekali tidak. Sikap itu justru menyuntiki manusia dengan semangat, dengan energi  “Terimalah setiap tantangan, dan hadapilah!” Seorang panembah selalu penuh semangat. Badan boleh dalam keadaan sakit dan tidak berdaya – jiwanya tak pernah berhenti berkarya. la akan tetap membakar semangat setiap orang yang mendekatinya……… “Jadilah seorang Bhakta, seorang panembah” demikian ajakan Sri Krishna kepada Arjuna, di tengah medan perang Kurukshetra. Tentunya, ia tidak bermaksud Arjuna meninggalkan medan perang dan melayani fakir-miskin di kolong jembatan. Atau, berjapa, berzikir pada Hyang Maha Kuasa, ber-keertan, menyanyikan lagu-lagu pujian. Tidak. Krishna mengharapkan Arjuna tetap berada di Kurukshetra, dan mewujudkan Bhaktinya dengan mengangkat senjata demi Kebenaran, demi Keadilan. Ingatlah pesan Sri Krishna kepada Arjuna: “Janganlah engkau membiarkan dirimu melemah di tengah medan perang ini. Angkatlah senjatamu untuk menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Janganlah memikirkan hasil akhir, janganlah berpikir tentang untung-rugi. Berkaryalah sesuai dengan tugas serta kewajibanmu dalam hidup ini!” Seorang panembah adalah seorang Pejuang Tulen. la tidak pernah berhenti berjuang. Kendati demikian, ia pun tidak bertindak secara gegabah. la waspada, tidak was-was. la tidak menuntut sesuatu dari hidup ini, dari dunia ini. la berada di tengah kita untuk memberi. la tidak mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukannya. la berkarya tanpa pamrih. Keberhasilan dan kegagalan diterimanya sebagai berkah……..

Sang Istri: Suamiku, alam ini bagaikan seorang ibu. Begitu seseorang berserah diri, ia akan melindunginya, memeliharanya. Seseorang berserah diri sepenuhnya, dan oleh karena itu Keberadaan selalu melindunginya. Tetapi tidak berarti bahwa ia akan menjadi malas. Ia tetap bekerja. Ia bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sesungguhnya ia tidak perlu mengharapkan suatu apapun. Alam melindungi dia dan mencukup segala kebutuhannya. Dalam buku “Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi” disampaikan……… Sementara ini, penyerahan diri kita belum total, belum sempurna, belum “terjadi”. Kita “pikir” sudah berserah diri, padahal belum apa-apa; baru “berserah diri” dalam pikiran, dan pikiran tidak bisa dipegang. Pikiran tidak memiliki bobot. Berserah diri dalam pikiran sama sekali tidak bermakna, tidak berarti. Penyerahan diri harus “terjadi”. “Terjadi” karena sadar akan Kasih dan Rakhmat Allah. Terjadi karena cinta……..

Sang Suami: Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi” disampaikan…….. Dunia benda dan dunia spiritual tidak bisa dipisahkan. Materi dan energi tidak dapat dipisahkan. Bulan dan rembulan takterpisahkan. Semuanya ini hanyalah permainan kesadaran. Kesadaran kita sedang naik-turun, dan hal itu sangat alami. Kadang kita berada pada tingkat teratas kesadaran murni, kadang kita berada pada tingkat terbawah kesadaran duniawi. Berada pada tingkat kesadaran terendah pun, sebenarnya kita dapat mewarnai hidup kita dengan spiritualitas. Berserah diri sepenuhnya, total surrender, itulah kuncinya. Kunci yang satu ini mampu membuka setiap pintu. Kunci yang satu ini dapat meningkatkan kesadaran. Apabila kita memiliki kunci “Total Surrender”, berbahagialah, kita tidak jauh dari Tuhan!

Sang Istri: Saya ingat pada buku “Tantra Yoga” yang menyampaikan bahwa……… Seorang siswa harus percaya penuh pada Gurunya. Hendaknya dia tidak bimbang, tidak ragu-ragu……..

Sang Suami:  Bagi mereka yang percaya pada Guru, Guru adalah Kereta Api yang membawa ke tujuan, maka mereka segera bergegas naik kereta, bila tidak demikian mereka hanya sekedar mundar-mandir dan berdebat dengan pikiran dan tetap berada di peron stasiun saja.

Terima Kasih Bapak Anand Krishna

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone