July 13, 2010

Sudahkan Kau Bisa Membaca ?

Pada zaman dahulu di Jepang, lentera yang terbuat dari bambu dan kertas, serta lilin di dalamnya banyak digunakan. Seorang buta, yang mengunjungi temannya suatu malam, ditawarkan sebuah lentera untuk dibawa pulang ke rumahnya.

“Saya tidak butuh lentera,” katanya. “Gelap atau terang adalah sama saja bagi saya.”

“Saya tahu bahwa anda tidak memerlukan lentera untuk melihat jalan,” jawab temannya, “Tetapi jika anda tidak membawanya, orang lain mungkin akan menabrak anda. Jadi, anda harus membawanya.”

Orang buta itu mulai berjalan dengan lenteranya dan sebelum ia berjalan terlalu jauh, seseorang menabrak dirinya. “Lihatlah jalan yang akan anda tuju!”
ia berteriak kepada orang asing itu, “Tidak bisakah kamu melihat lentera ini?”

“Lilin anda telah habis, Saudara” jawab orang asing itu.

Hahahaha …… seperti itulah kondisi kita kita sibuk mempertontonkan lilin, sementara mata kita buta. Kita mengagung-agungkan lilin sementara mata kita sendiri tidak mampu menyaksikan keagungan lilin tersebut. Sehingga ketika cahaya lilin sudah padampun kita tidak menyadari, dan kita masih sibuk berdebat bahwasanya cahaya lilin kelompok kitlah yang paling terang dan mampu meneragi semua jalan.

Bagi mereka yang sudah ‘melek’ kebodohan kita itu membuat mereka memperingati kita bahwasannya lilin yang kita bawa sudah padam yang tidak kita sadari karena kita buta. Mereka yang sudah ‘melek’ mencoba untuk membuat kita menjadi ikut ‘melek’, namun kemudian kita malah membatui mereka, menyebut mereka bodoh, memaki mereka kafir hingga bahkan mefitnah mereka sebagai tukang sihir dan ahli hipnotis.

Di buku SENI MEMBERDAYA DIRI 1 bapak Anand Krishna memberikan penjelasan :

Sadar akan ketidakmampuan diri sudah merupakan langkah maju, begitu anda sadar akan kelemahan diri anda akan berupaya untuk memberdaya diri.

Hampir dua tahun sejak renungan-renungan saya selama delapan tahun terakhir dibukukan dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Banyak yang menyurati saya via telpon, email dan fax. Pada dasarnya, mereka semua mencari “lampu”. Ya, saya memang “Penjual” lampu, tetapi apa gunanaya membeli “lampu” apabila masih belum bisa membaca ?

Latihan-latihan yang saya berikan lewat program “Seni Memberdaya Diri” adalah upaya saya untuk “mengajar” cara membaca yang lebih baik. Ya, baru cara membaca/ Latihan-latihan tersebut bukan “lampu” itu sendiri. Saya tidak berkeberatan memberikan “lampu-lampu” tersebut kepada siapa saja, kapan saja, dimana saja. Syaratnya hanya satu – Anda harus mahir membaca.

Kalau belum mahir membaca anda akan menyalah artikan tulisan-tulisan dalam “kitab jiwa” anda . . .

Well bagaiamana ? apakah sekarang anda sudah ‘melek’ dan sudah bisa membaca kitab jiwa anda ?. Perhatikan kehidupan anda saat ini, apakah emosi masih liar tak kendali ?. Jika anda menyadari emosi anda yang liar dan tak terkendali maka anda mulai ‘melek’ selanjutnya mari kita belajar membaca, caranya sangat mudah silahkan ikuti program Seni Memberdaya Diri 1 yang berisikan :


1) Rileksasi Kilat
2) Membudayakan Emosi
3) Membudayakan suara
4) Membudayakan Pengelihatan / Visi
5) Membudayakan pikiran

Silahkan menghubungi Anand Ashram untuk info lebih lengkaphttp://www.anandkrishna.org/

Anda tak harus meninggalkan profesi anda, anda tidak harus meninggalkan keluarga anda, anda tidak harus menyepi dan menjadi pertapa di tengah hutan. Yang perlu anda perbuat hanyalah membuka diri anda terhadap segala sesuatu kemungkinan, dan mendisplinkan diri untuk menjadikan latihan-latihan ini sebagai bagian dari hidup anda, sebagai gaya hidup anda.

Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,

“Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”

Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin.

“Demikianlah,” kata Nasrudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”

Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?”

Nasrudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.”

“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?”

Nasrudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?”

Refrensi

MENGAJARKAN YANG TERPENTING – Daging ZEN Tulang ZEN Bunga Rampai Karya Tulis Pra-Zen dan Zen – Dikumpulkan oleh: Paul Reps – Yayasan Penerbit Karaniya

SENI MEMBERDYA DIRI 1 – Anand Krishna – Gramedia Pustaka Utama

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone